Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Update Terbaru

Bagaimana cara Mengatasi Bencana Kekeringan?

Oleh @dAsalbantani
Pejuang Eco Village
Founder Banten Creative Community


Musim hujan kebanjiran, musim panas kekeringan. Aneh tapi nyata. Aneh karena Bumi Nusantara ini memiliki hutan tropis terbesar kedelapan di dunia. Nyata karena hampir seluruh wilayah di Indonesia sedang mengalami kekeringan, termasuk di Banten.

Itu semua dikarenakan ulah manusia yang belum menjalankan habblumminalalam. Kita ini kebanyakan mengambil haknya ke alam, namun kewajibannya sama sekali tidak dipenuhi. Sebagai contoh, membangun rumah yang ada unsur kayunya, entah itu buat atap, balok, tiang atau bekisting apakah diiringi dengan menanam pohon penggantinya? Atau menggunakan kertas untuk menulis, sudahkah menggantinya dengan menanam pohon sebanyak yang kita gunakan? Karena kertas itu bahan bakunya dari kayu. Saya yakin pasti jawabannya belum. Nah itulah yang dimaksud dengan manusia hanya menuntut haknya saja sedangkan kewajibannya mengganti diabaikan.

Khusus di Banten, Provinsi yang terkenal dengan kearifan lokal masyarakat adatnya yaitu Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul pun tidak luput dari bencana kekeringan dan kekurangan air bersih. Bahkan salah satu Sultan Banten menyandang gelar Sultan Ageng Tirtayasa, karena berhasil dalam mengatur tatakelola air sehingga pas jamannya tidak ada bencana kekeringan dan kekurangan air bersih. Ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja atau menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Tapi merupakan tanggung jawab bersama yang ada hubungannya dengan habblumminalalam.

Di Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul punya kearifan lokal yang sangat luar biasa sekali dalam menjaga keseimbangan alam. Di sana tidak mengenal dampak bencana yang ditimbulkan oleh musim hujan atau musim kemarau. Mata air masih terjaga, air sungai masih mengalir, padi masih bisa dipanen, longsor, banjir dan kekeringan tidak pernah terjadi. Itu semua dikarenakan oleh peraturan adat yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya. Dan peraturan adat ini ternyata lebih kuat dibanding peraturan yang dibuat oleh anggota dewan dan pemerintah.

Mereka punya yang namanya Hutan Titipan. Hutan yang tidak boleh dimanfaatkan untuk apapun, baik itu kayunya ataupun sumber daya alamnya. Bahkan untuk masuk pun tidak diperbolehkan kecuali Pu’un/Abah/Olot/Oyot/Kepala Adat, itupun hanya setahun sekali. Luasnya mencapai 30% dari luas kawasan. Mereka punya yang namanya Hutan Tutupan. Hutan yang boleh dimanfaatkan tapi non kayu. Hutan inilah yang menjaga mata air sumber kehidupan yang dialirkan melalui sungai. Luasnya mencapai 50% dari luas kawasan. Mereka punya yang namanya Tanah Olahan. Tanah yang bisa dimanfaatkan untuk permukiman dan sawah serta ladang. Luasnya hanya 20% dari luas kawasan. “Leuweung Hejo Rakyat Ngejo”, demikian falsafah masyarakat adat Banten yang artinya jika hutannya hijau, maka rakyatnya pun sejahtera. Sampai sekarang falsafah itu masih terjaga dan bisa diterapkan di kawasan-kawasan lain sehingga bencana alam bisa diminimalkan.

Selain tata ruang dan falsafah kawasannya, Banten juga kaya tanaman bambunya. Memang belum ada catatan yang pasti mengenai berapa persen atau berapa banyak hutan bambu yang ada di Banten. Tapi dari beberapa wilayah yang pernah dikunjungi, baik itu di Tangerang, Serang, Pandeglang dan Lebak, pohon bambu di Banten itu sangat melimpah ruah bahkan sama sekali belum dijamah seperti di kawasan buffer zone Ujung Kulon, Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul.

Berbicara lebih luas lagi untuk di negara kita Indonesia, ketersediaan sumber daya air, terutama di Pulau Jawa sudah sangat kritis. Dari jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar sekitar 136, 31% DAS sangat kritis, 41% DAS kritis dan 28% DAS agak kritis. Bagaimana dengan hutan di Indonesia? Dari data yang ada, kehancuran hutan kita itu sekitar 51 km2/hari, rentang waktu tahun 2000-2005 sekitar 1,8 juta Ha/tahun sehingga bisa disimpulkan kehancuran hutan kita itu no 2 di dunia berdasarkan luas dan no 1 di dunia berdasarkan prosentase.

Dengan kondisi yang sudah dijelaskan di atas, maka peran bambu begitu sangat penting karena sekitar 12% jenis bambu dunia yaitu 160 spesies berada di Indonesia (Prof. Elizabeth, 2012). Bambu juga memiliki beberapa keunggulan yaitu : kecepatan tumbuhnya 12”-36” per hari, lebih fleksibel dibanding kayu, dapat dipergunakan dalam umur tumbuh 3-5 tahun, multiguna,bisa menghindari dan menahan erosi, memperbaiki kandungan air tanah, renewable-sustainable, budi daya yang mudah serta bisa menciptakan lapangan kerja yang banyak. Di sisi lain, produksi biomassa bambu juga lebih baik dibanding kayu, yaitu 7x lebih banyak dari pada pohon lainnya, bertambah 10-3-% per tahun dibanding 2-5% pertahun untuk pohon lainnya, memproduksi antara 50-100 ton per Ha dan terbagi atas 60-70% batang, 10-15% ranting,, 15-20% daun-daunan. (Liese, 1985).

Dalam kaitannya dengan konservasi, sebuah penelitian di China, hutan bambu mampu meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah hingga 240% dibandingkan hutan pinus. Penghijauan dengan bambu pada bekas tambang batu bara di India mampu meningkatkan muka air tanah 6,3 meter hanya dalam 4 tahun. Berdasarkan laporan penelitian tentang hutan di China, dedaunan bambu yang berguguran di hutan bambu terbuka paling efisien di dalam menjaga kelembaban tanah dan memiliki indeks erosi paling rendah dibanding 14 jenis hutan yang lain. Penelitian Prof. Koichi Ueda dari Kyoto University menyatakan bahwa sistem perakaran bambu monopodial sangat efektif di dalam mencegah bahaya tanah longsor. Hutan bambu dapat menyerap CO2 62 ton/Ha/Thn sementara hutan tanaman lain yang masih baru hanya menyerap 15 ton/Ha/Thn. Bambu juga melepaskan oksigen sebagai hasil foto sintesis 355 lebih banyak dari pohon yang lain.

Pemanfaatan biomassa bambu ini sangat beragam sekali, yaitu sebagai bahan bangunan hunian, jembatan, bambu laminasi, parket, perancah, perabotan, peralatan dapur, kerajinan, alat musik, kemasan, rebung, makananan ternak, obat, kertas, tekstil, bahan bakar, pupuk, kompos dan pompa air . (David Farelly – Book of Bamboo menyebutkan 1000 manfaat bambu dari A (acupuncture needles, airplane skins) sampai Z (zithers). Dalam hal konsumsi energi, perbandingan energi yang diperlukan untuk memproduksi bahan bangunan (N/m2) adalah beton 240, baja 1500, kayu 80 dan bambu 30. (J.A. Janssen, Bamboo Research at the Eindhoven University of Technology). Di daerah tropis dengan lahan 20×20 m2 kita dapat menanam bambu dalam 5 tahun untuk membangun 2 rumah @8×8 m2, dengan kebun bambu 60 Ha, setiap tahun dapat dibangun 1000 rumah dari bambu (costarica).

Potensi bambu di Indonesia sangat luar biasa sekali karena dari 1200-1300 jenis bambu di dunia, 160 jenis tumbuh di Indonesia (sekitar 12%). Kecuali Pulau Kalimantan, seluruh pulau di Indonesia mempunyai sumber bambu yang berlimpah. Diperkirakan terdapat 5 juta Ha hutan bambu di Indonesia (Kartodihardjo, 1999), di Jawa Barat sendiri (E. Widjaja, 2005) terdiri dari 4650 Ha di Tasikmalaya, 2950 Ha di Purwakarta dan 3400 Ha di Sukabumi.

Jadi, mengatasi kekeringan dan kekurangan air bersih itu harus menyeluruh dan tuntas. Dari hulu sampai hilir itu dijaga dan dibenahi. Selain itu pola pikir kita juga harus dirubah. Dulu kita berangapan bahwa air hujan itu harus cepat-cepat dialirkan ke laut. Nah sekarang dibalik, justru air hujan itu selama mungkin harus ditahan di dalam tanah. Caranya bagaimana? Tata ruang dengan komposisi 30:50:20 harus diterapkan dalam perencanaan dan pembangunan kawasan baik itu skala lingkungan maupun skala wilayah. Dalam skala lingkungan yang sangat kecil, yaitu rumah kita, harus tersedia bak penampung, sumur resapan atau biopori yang berfungsi untuk menyalurkan air hujan ke dalam tanah dengan ukuran yang proporsional sesuai luas halaman rumahnya. Sebagai penahan airnya, pohon bambulah yang paling efektif ditanam. Jika menggunakan AC, maka air buangannya itu harus ditampung karena air tersebut merupakan air bersih yang bisa dipergunakan kembali untuk kebutuhan hidup. Air limbah dari kamar mandi, wastafel dan tempat cuci pun sebaiknya jangan langsung dibuang ke got. Bila disalurkan ke tempat yang sudah ada pengolahannya maka air limbah pun bisa dipergunakan kembali.

Dalam skala lingkungan yang lebih besar lagi yaitu perumahan dan kota, model tata kelola air ini bisa diterapkan kembali. Harus ada hutan kecil atau hutan kota, kolam penampung dan sumur resapan. Jika kita menerapkan model seperti itu maka tidak diperlukan lagi pembangunan drainase yang selalu menjadi masalah baru dikarenakan kita tidak pernah merawatnya.

Itu model yang bisa diterapkan di bagian hilir yang sebagian besar merupakan rekayasa manusia. Sedangkan di bagian hulu dengan eksisting kearifan lokal yang masih dimiliki oleh Banten, sebenarnya penanganannya lebih mudah karena kewajiban kita hanya menjaga dan merawat. Wilayah-wilayah yang telah mengalami degradasi lingkungan dikonservasi ulang dengan tanaman bambu. Setelah itu baru dikombinasikan dengan pohon-pohon keras yang usia tumbuhnya itu butuh puluhan tahun.

Bambu memang bukan segalanya, tapi dengan bambu waktu yang dibutuhkan untuk konservasi lingkungan akan lebih cepat dibanding kayu.

Ke depan, Banten dengan segala potensi kearifan lokalnya disertai dengan implementasi model tata kelola air yang benar akan mampu mengatasi bencana kekeringan dan kekurangan air bersih.