Usaha Arang mendulang Laba
Enam bulan lamanya Cornelius Triyanto berkeliling Jawa. Bukan untuk pelesir, tetapi mencari arang bambu. Yang dicari tak tanggung-tanggung, 72 ton rutin setiap bulan. Sayang, ikhtiar itu tak memuaskan hatinya. Dari berbagai daerah itu ia cuma sanggup mengirimkan 2 ton arang per bulan ke Jepang. Ia menjual US$ 2,4 per kg sehingga laba bersihnya Rp. 165-juta.
Laba bersih yang ditangguk Cornelius Triyanto tentu bakal melambung andai saja ia sanggup memenuhi semua permintaan. Ternyata, sulit menemukan arang bambu. Banyak yang bilang itu barang langka, kata Triyanto. Itu sebabnya, pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, itu masih mencari pasokan ke berbagai sentra bambu. Ia pun bersedia menampung pasokan dari plasma sepanjang memenuhi kriteria seperti arang utuh dan kelembapan 0,3%.
Semula ia rutin mengekspor sapu ijuk ke jepang. Koleganya itu kemudian juga rutin meminta pasokan arang bambu. Di negeri Sakura arang bambu sebagai hiasan, penyerap uap ruangan, dan menghilangkan bau tak sedap.
Selain arang bambu, pasar juga memburu arang tempurung kelapa. Permintaannya tak kalah menjulang. Agus angkat tangan ketika eksportir di Jakarta meminta rutin 2.000 ton arang tempurung per bulan. Itu belum termasuk permintaan pabrik minyak kelapa sawit di Pekanbaru, Riau, 200 ton per bulan.
Produsen arang tempurung kelapa di Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, itu kini hanya sanggup memasok 3-5 ton per bulan untuk pabrik pengolahan air. Dengan harga jual Rp. 2000 per kg (1 kg arang dari 4 kg bahan baku), omzetnya mencapai Rp. 6-juta – Rp. 10-juta per bulan. Karena biaya produksinya cuma Rp. 1200 per kg sehingga laba bersih yang ditangguk Rp. 4-juta sebulan. Agus menggeluti bisnis arang lantaran terinspirasi kinerja mesin air minum isi ulang yang memanfaatkan karbon aktif sebagai filter.
Kelahiran Bandung 1 Januari 1965 itu segera mencari tahu asal-muasal arang aktif. Koleganya mengatakan arang aktif dari batok kelapa berharga tinggi. Sebuah produsen arang aktif, justru menantangnya untuk memasok 10 ton arang per bulan. Agus pun tergugah dan membuka pabrik arang batok kelapa pada Januari 2006 untuk membuat briket dan butiran arang. Ia memanfaatkan tempurung dari berbagai kota seperti Bandung, Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut.
ARANG AKTIF
Menurut Agus harga arang aktif 5 kali lebih besar daripada harga jual arang granular yang saat ini diproduksinya. Namun, untuk memproduksi arang aktif perlu modal besar. Selain itu proses produksinya juga njlimet. Misalnya, untuk mengaktivasi arang dengan proses fisika, perlu alat khusus untuk memanaskan arang pada suhu 1.000°C disertai pengaliran uap. Itu berarti Agus membutuhkan mesin pembakar.
Di Bandung ada Afnil yang sukses memproduksi arang aktif. Mantan kontraktor air bersih itu memasok arang aktif asal batok kelapa ke sebuah perusahaan besar. Arang aktif dimanfaatkan sebagai penyerap kotoran-kotoran pada limbah. Afnil meneken kontrak untuk memasok 400 ton arang aktif sampai Juli 2007. pengiriman pertama pada Januari 2007, baru 40 ton. Alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung itu memperoleh harga Rp. 7000 per kg.
Dari pengiriman pertama, Afnil meraup omzet Rp. 280-juta. Padahal, ‘Biaya produksinya hanya Rp. 2000/kg’, katanya. Artinya, total laba bersih mencapai Rp. 200-juta. Angka itu bakal terus menggunung bila ia memenuhi seluruh permintaan itu. Namun, Afnil mengatakan investasi yang dibenamkan juga tak kecil. Untuk membangun pabrik arang aktif, laboratorium, dan pembelian mesin ia menghabiskan Rp. 500-juta.
Sebelumnya ia juga meriset arang aktif yang dihasilkan produk bermutu dan berendemen tinggi. ‘Biasanya pabrik lain butuh waktu 12 jam dengan rendemen 20%, produksi saya hanya 2-5 jam dengan rendemen 30%,’ katanya. Indikator utama penyerapannya pun berkualitas tinggi, 1.000 mg/g. Oleh karena itu biaya produksi dapat ditekan, hanya Rp. 2000/kg arang aktif.
SEKELAM ARANG
Laba berniaga arang aktif memang menggiurkan. Namun, bukan berarti tanpa hambatan bila hendak menerjuni bisnis itu. Bila gagal, nasib produsen bisa sekelam arang. Itulah yang dialami Wira Gustria. Produsen arang di Sidoarjo, Jawa Timur, itu merugi Rp. 67-juta. Musababnya, biaya produksi tak sebanding dengan harga jual. Pada September 2006 ia memproduksi 45 ton arang dan hanya memperoleh harga Rp. 1100/kg. Padahal, harga tempurung saja Rp. 250/kg atau Rp. 1000 untuk menghasilkan 1 kg arang.
Namun, bila mampu mengatasi aral, ‘Sebenarnya banyak negara yang membutuhkan arang dari Indonesia,’ kata Jhonny W Utama, direktur PT Dian Niaga yang mengekspor briket arang ke Eropa dan Jepang selama 20 tahun terakhir. Permintaan dari Jepang mencapai 10 ton per bulan. Sayang, kualitas arang para plasma semakin menurun. Parameter kualitas arang 7.000 kalori tidak lagi dicapai. Itu sebabnya, Dian Niaga tak lagi tergantung pada pasokan plasma, tetapi memproduksi arang sendiri di Pontianak, Kalimantan Barat.
Lantaran mampu menjaga mutu, pasokan arangnya terus meningkat. Pada 2005 ia mengirim 1-2 kontainer setara 9-18 ton per bulan. Kemudian saat meningkat menjadi 4-5 kontainer. Menurut prediksi Jhonny, permintaan arang di pasar dunia pada tahun-tahun mendatang semakin meningkat.
Itu terbukti dengan prediksi kebutuhan arang di Eropa, baik untuk pembakaran atau industri arang aktif mencapai 200.000 ton per tahun. Indonesia sebagai penghasil utama arang batok bakal kebanjiran order, bila mampu menjaga mutu. Untuk menghasilkan barang gosong itu, tak sekadar membakar tempurung atau bambu. Membakar sembarangan berarti membakar laba di depan mata. (Vina Fitriani/Peliput: Imam Wiguna & Destika Cahyana).